Oleh Bambang Pamungkas
“Pada dasarnya setiap manusia itu sama, yang membedakan
mereka adalah cara berpikir, bersikap, bertindak serta bereaksi setiap
individu terhadap segala permasalahan yang menghampiri mereka.”
22 Maret 2013
Malam sudah cukup larut, waktu menunjukkan pukul 23:35 malam. Dari
jendela tampak di luar tengah turun hujan. Hanya gerimis memang, tapi
cukup untuk membuat udara malam ini menjadi semakin dingin. Sebuah sosok
berperawakan sedang bertelanjang dada, tengah duduk terpaku di pojok
sebuah ruangan. Dalam suasana remang-remang di sebuah apartemen di jalan
Rue de Caumartin, Paris.
Tatapan matanya kosong, raut wajahnya tampak beku, pikirannya jauh
melambung membelah dingin dan basahnya langit malam ini. Dengan rambut
acak-acakan serta kumis dan jenggot yang tampak mulai memanjang tak
beraturan, membuat wajah orang ini tampak lusuh dan sedikit lebih tua
dari umurnya.
Lelaki tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah Bambang Pamungkas,
iya lelaki itu adalah saya sendiri. Sudah lama saya membuat keputusan
ini, dan sudah lama pula sebenarnya saya ingin menulis artikel ini. Akan
tetapi entah mengapa, hati saya masih merasa begitu berat untuk sekedar
menyampaikannya kepada khalayak ramai.
Hingga tiga hari yang lalu, di mana saya menerima sebuah kabar
menyedihkan dari jarak 11.574 kilometer dari sini. Sebuah “peristiwa”
yang sejujurnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan diri saya.
Namun, kejadian tersebut membuat saya meyakini, bahwa sekarang adalah
saat yang tepat untuk menyampaikan kepada masyarakat, mengenai masa
depan saya.
Awalnya saya pikir semuanya akan berjalan dengan mudah. Tinggal
merangkai kata, upload ke blog pribadi dan kemudian di menyebarluaskan
melalui akun twitter saya. Selesai perkara. Tetapi pada kenyataannya
tidak semudah yang terpikir di benak saya. Butuh waktu lama untuk pada
akhirnya saya berani untuk menulisnya. Padahal keputusan ini sudah saya
ambil sejak empat bulan yang lalu. Iya, sejak empat bulan yang lalu.
Bagi mereka yang memperhatikan penampilan saya di perhelatan Piala
AFF 2012, maka sejatinya ada hal yang tidak biasa tersaji di sana.
Ketika itu pada detik-detik terakhir, saya memutuskan untuk menggunakan
nama “PAMUNGKAS”, dari pada “BAMBANG” seperti yang biasa saya kenakan di
jersey tim nasional saya.
Tentu hal tersebut bukan tanpa alasan. Dalam bahasa Indonesia, kata
pamungkas memiliki arti “menjadi yang terakhir”. Maka begitu pula dengan
perjalanan karier saya bersama tim nasional. Saat itu saya memutuskan
bahwa pagelaran Piala AFF 2012 akan menjadi penampilan resmi terakhir
saya, bersama tim nasional Indonesia.
Bergabungnya saya ke tim nasional Indonesia ketika itu, bukanlah
menjadi sebuah pilihan yang mudah. Pilihan yang saya ambil tersebut,
bertentangan dengan kebijakan klub yang saya bela Persija Jakarta. Dan
juga institusi di mana klub saya berafiliasi, dalam hal ini Liga Super
Indonesia dan KPSI.
Pilihan tersebut jelas bukan tanpa risiko, baik bagi saya secara
pribadi maupun masa depan karier sepakbola saya. Banyak orang yang
menganggap saya ingkar janji, tidak sedikit yang menganggap saya sebagai
seorang penghianat. Akan tetapi saya adalah saya, pribadi yang selalu
berusaha untuk berkata benar jika memang benar, dan mengatakan salah
jika memang demikian adanya, dengan apa pun resikonya.
Sesaat setelah latihan perdana bersama skuad tim nasional Indonesia,
jelang AFF Cup 2012. Di sebuah pancuran air Gelora Bung Karno, saya
berkata kepada salah satu sahabat saya. Keputusan saya untuk bergabung
dengan tim nasional bukanlah sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan.
Karena saya tidak akan pernah bisa memaafkan diri saya jika saya tidak
melakukannya. Dan setelah itu saya akan berhenti untuk selamanya.
Hal tersebut juga telah saya sampaikan kepada staf Badan Tim Nasional
Indonesia. Oleh karena itu, ketika nama saya kembali masuk dalam daftar
pemain untuk Kualifikasi Piala Asia 2015, saya menolak untuk hadir.
Berani mengambil sikap dengan apapun hasil dari pilihan yang kita
ambil, adalah dua hal yang berbeda. Mengambil sebuah keputusan murni
berada di tangan setiap individu. Sedang hasil dari keputusan yang kita
ambil acap kali tergantung dari banyak hal, termasuk kehendak dari sang
Maha Pencipta.
Sebagian orang berpikir bahwa saya sudah gila, karena mengorbankan
seluruh reputasi dan karier saya, demi sebuah tim yang sudah diprediksi
banyak orang akan mengalami kegagalan. Sebagian lagi berpikir saya salah
melangkah, karena pada akhirnya tim nasional Indonesia harus kembali
tersungkur dan bersimbah darah, di AFF Cup 2012.
Mereka berpikir saya telah merusak kredibilitas dan reputasi dengan
menumpahkan tinta hitam di atasnya. Tetapi, tidak demikian bagi saya
pribadi. Saya merasa telah mengakhiri perjalanan panjang bersama tim
nasional, dengan sebuah kebanggaan dan kehormatan, setidaknya sebagai
sebuah pribadi yang merdeka.
Rasa terima kasih dan hormat saya yang setinggi-tingginya, saya
ucapkan kepada seluruh komponen tim nasional Indonesia di Piala AFF
2012. Orang-orang yang dalam segala keterbatasan dan tekanan publik yang
begitu hebat, tetap berdiri di garda paling depan untuk memperjuangkan
harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui sepakbola.
Dengan apa pun hasilnya, menjadi sebuah kebanggaan besar bagi saya
mengakhiri karier tim nasional saya, bersama rekan-rekan semua. Mati
sebagai pemain tim nasional (pensiun) dengan cara seperti itu, membuat
saya merasa sangat bahagia. Berjuang sampai titik darah penghabisan atas
nama bangsa dan negara, dengan segala kendala dan risiko yang harus
dihadapi, membuat saya merasa telah mati dengan cara yang sangat
terhormat.
Terima kasih yang tidak terhingga untuk seluruh pendukung tim
nasional Indonesia di manapun berada. Mereka yang dengan fanatisme luar
biasa dan tak kenal lelah, selalu berdiri di belakang panji-panji tim
nasional Indonesia. Mereka yang selalu bernyanyi, menari dan berteriak
menyemangati dalam setiap perjuangan saya bersama tim nasional
Indonesia. Tidak lupa permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya, karena
selama karier saya bersama tim nasional Indonesia, tidak sekalipun saya
mampu memberikan kebahagiaan untuk kalian semua.
Tanggal 23 Maret 2013, merupakan hari bersejarah bagi sepakbola
Indonesia, khususnya tim nasional. Karena setelah sekian lama terbelah
menjadi dua, pada hari itu tim nasional Indonesia kembali berada di
bawah satu berdera. Dan untuk pertama kalinya setelah cukup lama,
stadion utama Gelora Bung Karno kembali memerah dipenuhi pendukung
militan tim nasional Indonesia.
Dengan atau tanpa muatan tertentu, langkah penyatuan tim nasional
Indonesia layak diberi apresiasi positif yang setinggi-tingginya.
Setidaknya, di dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, ternyata masih
ada rasa sebangsa dan setanah air. Walaupun mungkin kesepakatan
tersebut, dilandasi oleh negosiasi-negosiasi tertentu.
Sedangkan bagi saya pribadi, melihat para pemain nasional kembali
bergairah untuk memenuhi panggilan negara dan bersatu kembali dalam satu
bendera tim nasional Indonesia, tentu menjadi sebuah kebahagiaan yang
luar biasa. Bukankah hal tersebut yang selama ini “kita” perjuangkan
bersama-sama?
Menjadikan kembali tim nasional Indonesia sebagai representasi
kekuatan terbaik sepakbola di Indonesia. Mengembalikan kesakralan sebuah
tim nasional, yang akhir-akhir ini disepelekan oleh orang-orang yang
bertindak atas nama kepentingan-kepentingan tertentu. Serta menjadikan
kembali Gelora Bung Karno sebagai tempat yang angker bagi siapapun tim
lawan yang hadir di sana, dengan suasana riuh serta gegap gempita dari
seluruh pendukung merah-putih. Itu adalah hal yang selalu kita
perjuangkan, selama dua tahun terakhir.
Selamat berjuang untuk talenta-talenta terbaik sepakbola Indonesia.
Kibarkanlah panji-panji kebesaran sepakbola kita setinggi-tingginya.
Bermainlah untuk dirimu, orang-orang yang kamu cintai (keluarga), dan
lambang Garuda di dadamu (rakyat Indonesia).
Keputusan ini mungkin mengingkari janji saya sendiri tiga belas tahun
lalu, janji setia saya kepada tim nasional Indonesia. Akan tetapi
dengan segala dinamika dan pergolakan yang terjadi dalam sepakbola
Indonesia, selama dua tahun terakhir. Membuat saya merasa yakin, jika
sekarang adalah saat yang tepat bagi saya untuk melakukannya. Lagi pula
dengan nama-nama mumpuni di barisan depan tim nasional Indonesia saat
ini, rasanya tenaga saya sudah tidak lagi terlalu dibutuhkan.
Saya mengawali tiga belas tahun karier saya bersama tim nasional
dengan sebuah harapan besar, dan mengakhirinya dengan sebuah kemenangan
besar. Sebuah kemenangan dari segala bentuk pemaksaan kehendak terhadap
diri saya. Kemenangan diri saya atas nama sebuah kebebasan untuk
mengungkapkan pendapat, menentukan sikap, serta bertindak atas nama
sebuah hal yang saya yakini akan kebenarannya.
Boleh saja orang menilai saya sebagai seorang penghianat dari
kelompok saya, tetapi satu hal yang pasti, bahwa saya tidak pernah
mengkhianati hati dan profesi saya. Sebuah profesi yang sangat saya
cintai dan banggakan, sebagai pemain sepakbola.
Pada akhirnya saya memang harus menerima kenyataan, bahwa tidak ada
satu gelar bergengsi yang mampu saya berikan untuk Indonesia. Dan oleh
karena itu seperti yang pernah saya janjikan, maka di akhir artikel ini
saya akan berteriak dengan lantang, jika “Saya Adalah Generasi Yang
Gagal.”
Melalui tulisan ini, maka secara resmi saya menyatakan mundur dari tim nasional Indonesia.
“Cepat atau lambat, jersey merah-putih itu pasti akan tanggal dari
badanku. Akan tetapi satu hal yang pasti, lambang garuda itu akan tetap
melekat di dada kiriku, tinggal di sana sampai akhir hayatku.”
“Garuda di Dadaku, Garuda Kebanggaanku”
Selesai….
NB: Tulisan ini saya buat pada 22 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar